Sabtu, 31 Mei 2014

UNCONDITIONALLY



Seribu teman bahkan tak mampu melunturkan ribuan penat yang menumpuk, yang ada hanya pemikiran negatif yang kian hari kan menjamur.
Aku bahkan lupa rasanya menjadi bahagia, seharusnya kalian tahu bahwa aku tak mampu tersenyum karena memikirkan permasalahan yang terjadi.
Aku menulis karena aku tak memiliki seorang teman untuk bercerita, sekedar untuk menepuk bahuku-pun aku tak bisa menemukannya.
Aku memilah-milah apa yang harus aku lakukan, dan untuk saat ini entah benar entah salah, aku merasa tidak terarah. Tidak berarutan.
Aku bagai kapal yang menghantam karang, tetap berjalan tetapi pasti akan tenggelam.
Suatu saat pasti akan tenggelam.
Terkadang aku mencaci diriku sendiri, aku terlalu diperbudak keadaan. Terlalu.
Aku tak mampu menumpulkan sikap keegoisanku yang kian meruncing. Siapa yang mau hidup dengan sifat egois? Siapa? Tidak ada.
Tidak ada. Aku tahu itu.

Jumat, 02 Mei 2014

Seandanya Cinta Semanis Embun Pagi yang Hangat Menyentuh Pipi


Cuaca pagi yang sejuk, memberi semangat untukku membuka mata. Aku menyukai tempat ini, entahlah aku merasa nyaman walaupun hanya duduk menatap danau yang airnya pun tak begitu jernih, menikmati setiap bulir lembut embun yang menyentuh hangat telapak tangan dan pipiku. Aku membuka lembaran demi lembaran sebuah novel karya novelis ternama di negaraku, aku menyukainya alurnya dan sedikit mengena dihati.
Aku melihat seorang anak kecil berpakaian merah muda menari-nari ditengah padang rumput. Setiap seminggu sekali aku mengunjungi taman ini, tetapi baru kali ini aku melihatnya –anak kecil yang menari-nari ditengah rerumputan taman-. Aku melihat seorang laki-laki gagah menghampirinya, mengusap wajahnya yang basah karena dipenuhi embun pagi, aku bahkan berani taruhan kalau pria itu adalah ayahnya, walaupun tidak terlalu mirip. Aku memperhatikan kedua orang ini, dan tersenyum. Tetapi, aku rasa aku mengenal pria itu, dia seperti lelaki yang dulu aku cintai. Aku merunduk, sedikit berpikir. Aku mencoba memusatkan kembali pikiranku kepada novel yang masih aku genggam, semuanya buyar setelah seseorang menepuk pundakku.
“Andini?” tegurnya, aku tahu ini suara yang berat pasti suara yang dimiliki oleh seorang pria.
Aku mengangkat wajahku. Dan benar, Tian. Pria yang dulu pernah aku tautkan menjadi orang yang aku kagumi. Aku tahu, dan dia mengenggam sebuah tangan yang mungil. Gadis cilik itu putrinya.
“Hai, Tian? Apa kabar?” Aku memaksakan melukirkan senyumku.
“Baik-Baik, kamu gimana? Kemana aja? Dila selalu nyariin kamu.” Jawabnya bersemangat.
Aku masih terpaksa tersenyum. Mendengarnya menyebut tentang Dila, paru-paruku sedikit menyempit, dan sesak. Dila dulu adalah sahabat terdekatku, ibuku menyanyanginya sama seperti ibu menyayangiku, dulu aku menganggap kami adalah sahabat sebelum aku mengenal Tian yang ternyata sudah lebih dulu berkenalan dengan Dila. Tapi, Dila tak pernah memberitahuku. Untuk beberapa waktu, aku merasa jatuh terlalu dalam terhadap Tian yang dulu adalah mahasisiwa teknik sipil, aku menyembunyikan perasaan ini karena aku ingin tak ingin Dila tahu, karena jika Dila tahu dia akan memaksa orang yang aku sukai untuk mendekatiku. Aku tidak mau. Tetapi yang terjadi, tidak semanis itu, saat itu untuk pertama kalinya aku, Tian dan Dila duduk disatu meja. Aku tahu saat itu mataku memerah, wajahku menahan amarah. Dila dengan begitu bersemangatnya mengenalkan aku kepada Tian yang ternyata sudah memiliki ikatan dengannya. Butuh seminggu untukku menerima hubungan Tian dan Dila, sebelum akhirnya Ibu memilih memindahkan aku kerumah Bude diluar kota. Dan semenjak itu aku tak lagi mengenal Dila dan Tian.
“Aku selalu baik. Ini siapa? Cantik banget.” Aku berbasa-basi.
“Ini Donna, gadisku.”
“Anakmu?”
“Anakku dan Dila.”
“Oh iya, seharusnya aku tak perlu bertanya karena Donna memiliki sepasang mata ibunya.” aku semakin sulit menarik nafas, seharusnya Tian tahu aku sudah melupakan luka yang dulu sempat terkoyak karenanya, tetapi sekalipun sekarang lukanya telah tertutup tetapi sakitnya masih terasa bahkan sangat.
“Hmm, kamu sudah menikah?” Tanya Tian. Dia memeluk Donna.
“Belum ada pikiran kesana, hmm. Aku rasa aku harus menemui temanku pagi ini, kami memiliki janji bertemu minggu kemarin.” Aku beranjak
“Tunggu Andini, kami tinggal diseberang jalan. Lain kali mampir ya? Aku akan menceritakan pertemuan ini dengan Dila. Dia pasti senang jika kamu berkunjung.” Dia memberikan sebuah kartu nama, mengisyaratkan aku untuk mengambilnya.
“Oke. Aku akan kesana.” Aku menggantungkan tasku dipundak. Berjalan membelakangi Tian dan gadis kecilnya. Mataku basah, semakin aku melangkah semakin terasa basah.
Aku meremas kartu nama milik Tian, aku mungkin berkata akan berkunjung tetapi aku tak pernah berjanji untuk benar-benar mengunjungi mereka. Aku tidak ingin menjadi bodoh karena merobek sendiri luka lama yang sudah tertutup. Aku berjalan menuju halte bis, tidak ada seorang temanpun yang akan aku temui pagi ini. Tidak untuk seminggu kedepan.
Dan aku tahu, aku rasa aku tak perlu lagi mengunjungi taman itu. Tak akan pernah lagi.


Seandainya aku tahu cinta sesakit ini, seharusnya dulu aku tak mau mengenal cinta.