Minggu, 20 April 2014

Gadis Berambut Ikal Dan Berkacamata


Bagi sebagian anak remaja bersekolah atau kuliah diluar daerah bisa jadi suatu kebanggaan sendiri, tetapi  tidak bagi saya. Sebagai anak lelaki saya diharuskan melanjutkan kuliah di universitas pilihan kedua orang tua saya, saya terpaksa hidup sendiri tanpa saudara di kota ini, kota yang katanya sebentar lagi tenggelam, Jakarta.
Saya masih duduk disebelah kiri halte bus, sesekali saya mengusap dahi karena matahari pagi yang mengarahkan panasnya kepada saya. Mungkin matahari bermaksud memberikan saya semangat, tetapi saya tidak suka sinar matahari pagi yang menyengat kulit saya. Saya mengeluarkan masker dari dalam tas, saya yakin sekitar dua bulanan lagi wajah saya akan penuh jerawat akibat polusi udara kota Jakarta yang menyelinap masuk kedalam pori-pori saya. Saya semakin tidak betah berlama-lama disini.
Saya berniat mengancingkan bagian atas kemeja saya sebelum suara dengusan rem bus membatalkan niat saya, saya buru berdiri dan berdesak-desakkan memasuki bus. Seharusnya saya bisa menerima resiko berebutan oksigen jika menaiki transportasi umum, apalagi sekarang saya sedang menggantungkan tangan saya dihadapan seseorang bapak yang wajahnya sangat tidak bersahabat. Tetapi, disini saya pertama kali bertemu dengan dia. Saya tidak sengaja menoleh kearah pojokan koridor bus, tetapi ketidaksengajaan penglihatan saya membuat saya terpana akan sosok gadis yang membiarkan rambut ikalnya terurai, dan berkacamata. Cantik.
Seperti biasanya, saya menunggu lagi suara dengusan rem bus yang setiap pagi mengantarkan saya kekampus. Bukan hanya menunggu suara dengusan rem bus, beberapa kali terakhir saya memperhatikan gadis berambut ikal yang selalu duduk dipojokan bus. Hanya saja, ada satu yang tidak saya mengerti, saya tidak pernah mendengar gadis itu berbicara, sekalipun kernek bus memintanya untuk membayar ongkos ia tetap hanya tersenyum dan tak berucap sepatahpun. Senyum yang indah, melengkung diantara dua tulang pipi yang membuatnya semakin memesona saya, tidak bukan hanya saya tetapi siapapun lelaki yang melihatnya. Kemudian saya berada lagi disuasana yang membuat dada saya sesak, tetapi ada alasan mengapa saya tetap memilih untuk menggantungkan tangan saya walaupun pegal, karena jika saya memilih untuk duduk saya tidak bisa memandangi gadis berambut ikal yang tak pernah berbicara. Ini aneh.
Berat kaki ini rasanya melangkah keluar dari pintu bus, saya menahan nafas akibat bau tidak sedap yang disebabkan oleh keringat puluhan orang didalam bus. Saya menunggu giliran menjadi orang merdeka karena akan keluar dari neraka ini, kemudian sesorang menyentuh bahu saya lebih tepatnya menekan. Saya menoleh, gadis berambut ikal yang seringkali saya perhatikan sekarang tepat dibelakang saya dan terlihat kesusahan membereskan bukunya yang berserakan akibat dorongan seseorang dibelakangnya. Saya tidak tahu, mengapa tiba-tiba saya merasa kesal karena seseorang tersebut, saya refleks membungkuk dan membantunya mengambil bukunya yang terjatuh kemudian saya menarik tangan gadis itu dan membawanya keluar. Gadis itu mengikat tinggi rambut ikalnya, saya hampir menganga melihatnya. Sampai umur saya terhitung tahun ini 18 tahun untuk pertama kalinya saya merasa jatuh cinta.
Saya memberanikan diri berbicara kepadanya.
“Maaf, apa ada barang kamu yang ketinggalan dibus?” Tanya saya, saya merasa keringat mengucur mengaliri pelipis saya.
“hmmmm.” Dia hanya menggeleng dan tersenyum, senyuman yang lagi-lagi membuat keringat saya semakin berlomba membasahi tubuh saya.
“Aku Adam, boleh tau nama kamu?.” Tanya saya. Saya perlu menunggu beberapa detik untuk mendengar jawaban darinya, namun gadis berkulit putih itu terdiam Ia lagi-lagi hanya tersenyum. Saya tidak mengerti maksudnya. Kemudian dia pelan-pelan berjalan menjauh dari saya langkahnya sedikit dipercepat, saya kemudian menyusul karena menunggu jawaban darinya. Namun gadis itu tetap menjauh dan menghilang.
Setelah kejadian dibus beberapa hari yang lalu, saya belum bisa menangkap lagi gadis yang masih membuat saya terpaku karenanya. Saya bertanya-tanya apakah hanya karena saya menanyakan namanya lalu dia merasa saya terlalu mengusiknya? Atau dia merasa terinterogasi oleh saya? Pertanyaan-pertanyaan ini berkutat dipikiran saya. Tiba-tiba seseorang membuyarkan lamunan saya, abang kernek tepat didepan saya dan mengadahkan tangannya, saya mengerti maksudnya dan mengeluarkan dua lembar uang dari dalam saku saya. Kemudian saya memberikan kepadanya. Seketika saya teringat lagi dengan gadis berambut ikal tadi, belum sampai abang kernek jalan ke belakang koridor abang kernek itu menghampiri saya lagi.
“Mas, ini dari mbak Rian.” Abang berkumis itu menyodorkan saya secarik kertas, dan menyebut pengirimnya yang sama sekali tidak pernah saya dengar namanya.
“Rian siapa bang?” Tanya saya.
“Mbak yang biasa duduk dipojokan itu.” Abang kernet menunjuk tempat dimana biasa gadis itu duduk, mendengarnya saya langsung menyambar kertas itu, tanpa mengucapkan terima kasih saya membuka kertas tersebut. Abang kernet menjauhi saya.
Saya tidak menemukan kalimat yang banyak dalam surat tersebut, yang ada hanya sebuah tulisan..
Nama aku Rian, maaf bukan tidak ingin memberitahu kamu. Hanya aku tidak bisa mengatakannyaJ
Saya tertegun, jawaban atas pertanyaan saya selama ini terungkap. Mengapa Rian-gadis yang selama ini saya sukai- tidak pernah berbicara sepatahpun.
Suara dengusan rem bus ini memaksa saya untuk keluar dari bus, saya berjalan menuju tempat perbehentian bus. Tapi seseorang menarik tangan saya lalu saya menoleh, Rian sedang berdiri dihadapan saya. Dia tersenyum polos, hal yang sangat saya sukai darinya. Saya baru mengerti tentang makna cinta yang mengharuskan seseorang menerima kekurangan orang yang Ia kasihi, karena Rian terlihat sangat memesona untuk saya sekalipun Ia tak mampu berbahasa.
Dia menarik saya lagi, kemudian saya tersenyum..

Sabtu, 05 April 2014

:')

Aku mereka-reka, merasa kalah saat kau hempaskan lagi rinduku yang malah semakin menjadi.
Kemudian, kamu bertanya. "Mengapa rindumu terus mengusikku?"
Aku tersenyum, "bukan cinta namanya jika tidak mengusik". 
Kemudian, kamu bertanya lagi. "Cinta seharusnya membuat kita merasa nyaman bukan terusik".
"Aku mengusik karena hatiku merasa tidak nyaman karena mengkhawatirkanmu". Aku tersenyum lagi.
Kamu diam, dan berkata. "Bukankah itu berlebihan?"
"Memang cintaku terlalu berlebih kepadamu". 
Lalu kamu diam dan menjauhiku, aku tetap berdiri walau kini yang kulihat bagian punggungmu yang semakin jauh dari jarak pandangku. Aku tersenyum tapi menangis.
Cinta terkadang memang terlalu menyakitkan untuk dipertahankan.