Jumat, 28 Februari 2014

Maaf, Jika aku menjadi egois.

“Hai, apa kabar?” kalimat ini yang rasanya sangat sulit aku ungkapkan ketika berpapasan dengan kamu. Namamu Indra-yang dulu adalah kekasihku-, aku menyukai hidungmu, dan kulit gelapmu. Entahlah, aku sedikit menyesal mengapa memilih universitas ini untuk melanjutkan belajarku, setidaknya dalam seminggu aku bisa melihatmu sebanyak kurang lebih 3 kali, dan miris rasanya.
Seketika, teringat kembali akan kejadian tahun lalu, tepatnya saat kamu lebih memilih mantan kekasihmu daripada memilih untuk terus bersamaku, sebenarnya aku tidak ingin lagi mengingat tentang waktu itu, namun ada setumpuk rindu tentang waktu itu yang kamu biarkan menjamur diperasaanku.
Hari ini hari selasa, seharusnya aku bisa melihat kamu dikampus. Aku sedang menulis buku harianku saat kamu menghampiriku. Ini tidak seperti biasanya dulu saat kita bersebelahan, aku merasa canggung dan sedikit bodoh.
“Hai, apa kabar?”. Tanyamu duluan.
“Lumayan, gak sebaik dulu saat aku masih sama kamu”. Aku tak tahu, kalimat itu terlontar sendiri dari bibirku, aku rasa wajahku memerah.
“Hm, sebegitukah?”
“Mungkin, aku masih sering bermimpi tentang.... eh bagaimana kuliahmu?” aku merasa seperti orang yang sangat bodoh, bodoh.
“Lumayan, prestasiku tak sebaik dulu saat aku masih sama kamu”.
Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan kamu sekarang, aku memang masih memiliki perasaan kepadamu, tapi jangan kalau kamu ingin memberikan aku harapan yang dulu kamu hancurkan.
“Sebegitukah? Aku kira kamu lebih baik kalau tidak bersamaku. Itu yang dulu kamu katakan”.
“Haruskah kita membahas itu, sekarang?”.
“Entahlah, melihatmu rasanya sakit karena mengingat waktu itu. He-he-he”.
“Jika aku tanya, bagaimana perasaan kamu kepadaku sekarang? Apakah kamu akan menjawab”
“Berani bayar berapa untuk jawaban itu?”
“Aku sangat ingin mengetahuinya.”
“Belum ada ruang untuk lelaki lain sampai saat ini untukku, aku kira kamu mengerti maksudnya.”
Aku tidak berharap kamu menjawab perkataanku, seharusnya aku berbohong tentang perasaanku kepada kamu yang belum berkurang.
“Kamu cantik, cobalah untuk membuka hati kepada lelaki lain.”
“Itu bukan urusanmu.” Nadaku sedikit meninggi, aku kembali membuka buku harianku.
“Kamu masih senang menulis? Apa hal yang sangat sering kamu tulis?’
‘Kamu.” Jawabku.
“Aku akan menikah, minggu depan.”
Mendengarmu aku ternganga, seperti tujahan belati menembus dadaku sampai rasanya sulit bernafas, kamu akan menikah. Dengan siapa? Mengapa harus aku mendengarnya dari bibirmu, rasanya sakit.
“Oh, benarkah? Dengan siapa? Aku turut senang mendengarnya.” Balasku, wajahku memerah, aku tahu kamu mengetahui aku sedang menahan tangis. Dan kamu hanya diam dan menatapku dengan tatapan iba, semakin membuatku terlihat miris dan tak berguna.
“Nabila, aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya ingin kamu melupakanku.” Nadamu merendah, sekarang kamu sedang memegang tanganku, erat sangat erat. Aku baru menyadari begitu kejamnya kamu, saat kamu sudah akan menikah dengan orang yang dulu mengambilmu dariku sekarang kamu meminta aku melupakanmu dengan tanganmu yang menggengam tanganku.
“Terimakasih, tetapi maaf aku tidak akan menuruti permintaanmu, adalah hakku jika aku ingin terus mengingatmu, aku tidak akan menggangu kamu dengan pendampingmu nanti, aku berjanji. Tetapi biarkan aku menjadikan kenangan tentangmu sebagai bahagiaku.”
Air mataku menetes, lega rasanya walaupun sakit.
“Wangi, tidak bisakah kita berhubungan baik sebagai saudara?”
“Tidak Indra, lebih baik tidak melihatmu daripada aku harus mengetahui kamu dengan yang lain. Aku tidak membutuhkan kamu yang aku butuhkan hanya kenangan waktu dulu.”
“Hmm, mungkin aku salah memberitahukan ini kepada kamu, tapi aku tidak ingin kamu mengetahui dari orang lain, aku.....”
“Aku pikir aku sudah telat kelas, selamat berbahagia In. Terimakasih.”
Langkahku gontai menjauhimu, aku berbohong tentang telat kelas aku hanya ingin menghindar darimu. Dan aku tidak ingin sedih karena bertemu denganmu. Dulu aku mengira kita bisa memulai dari awal, tetapi kamu justru memulai dengan yang lain.

Maaf, jika kau menjadi egois dalam perasaan, tidak bisa menuruti maumu. Aku rela jika kamu bersama dengan yang lain tapi tidak jika aku harus melupakan kamu. Aku sudah cukup bahagia hanya dengan kenangan bersamamu dan sampai saat ini aku sedang bahagia karena mengingatmu. Maaf karena kau menjadi egois, Terimakasih, pria berkulit gelapku. Untuk segalanya, terimakasih.