Cuaca
pagi yang sejuk, memberi semangat untukku membuka mata. Aku menyukai tempat
ini, entahlah aku merasa nyaman walaupun hanya duduk menatap danau yang airnya
pun tak begitu jernih, menikmati setiap bulir lembut embun yang menyentuh
hangat telapak tangan dan pipiku. Aku membuka lembaran demi lembaran sebuah
novel karya novelis ternama di negaraku, aku menyukainya alurnya dan sedikit
mengena dihati.
Aku
melihat seorang anak kecil berpakaian merah muda menari-nari ditengah padang
rumput. Setiap seminggu sekali aku mengunjungi taman ini, tetapi baru kali ini
aku melihatnya –anak kecil yang menari-nari ditengah rerumputan taman-. Aku
melihat seorang laki-laki gagah menghampirinya, mengusap wajahnya yang basah
karena dipenuhi embun pagi, aku bahkan berani taruhan kalau pria itu adalah
ayahnya, walaupun tidak terlalu mirip. Aku memperhatikan kedua orang ini, dan
tersenyum. Tetapi, aku rasa aku mengenal pria itu, dia seperti lelaki yang dulu
aku cintai. Aku merunduk, sedikit berpikir. Aku mencoba memusatkan kembali
pikiranku kepada novel yang masih aku genggam, semuanya buyar setelah seseorang
menepuk pundakku.
“Andini?”
tegurnya, aku tahu ini suara yang berat pasti suara yang dimiliki oleh seorang
pria.
Aku
mengangkat wajahku. Dan benar, Tian. Pria yang dulu pernah aku tautkan menjadi
orang yang aku kagumi. Aku tahu, dan dia mengenggam sebuah tangan yang mungil.
Gadis cilik itu putrinya.
“Hai,
Tian? Apa kabar?” Aku memaksakan melukirkan senyumku.
“Baik-Baik,
kamu gimana? Kemana aja? Dila selalu nyariin kamu.” Jawabnya bersemangat.
Aku
masih terpaksa tersenyum. Mendengarnya menyebut tentang Dila, paru-paruku
sedikit menyempit, dan sesak. Dila dulu adalah sahabat terdekatku, ibuku
menyanyanginya sama seperti ibu menyayangiku, dulu aku menganggap kami adalah
sahabat sebelum aku mengenal Tian yang ternyata sudah lebih dulu berkenalan
dengan Dila. Tapi, Dila tak pernah memberitahuku. Untuk beberapa waktu, aku
merasa jatuh terlalu dalam terhadap Tian yang dulu adalah mahasisiwa teknik
sipil, aku menyembunyikan perasaan ini karena aku ingin tak ingin Dila tahu,
karena jika Dila tahu dia akan memaksa orang yang aku sukai untuk mendekatiku.
Aku tidak mau. Tetapi yang terjadi, tidak semanis itu, saat itu untuk pertama
kalinya aku, Tian dan Dila duduk disatu meja. Aku tahu saat itu mataku memerah,
wajahku menahan amarah. Dila dengan begitu bersemangatnya mengenalkan aku
kepada Tian yang ternyata sudah memiliki ikatan dengannya. Butuh seminggu
untukku menerima hubungan Tian dan Dila, sebelum akhirnya Ibu memilih
memindahkan aku kerumah Bude diluar kota. Dan semenjak itu aku tak lagi
mengenal Dila dan Tian.
“Aku
selalu baik. Ini siapa? Cantik banget.” Aku berbasa-basi.
“Ini
Donna, gadisku.”
“Anakmu?”
“Anakku
dan Dila.”
“Oh
iya, seharusnya aku tak perlu bertanya karena Donna memiliki sepasang mata
ibunya.” aku semakin sulit menarik nafas, seharusnya Tian tahu aku sudah
melupakan luka yang dulu sempat terkoyak karenanya, tetapi sekalipun sekarang
lukanya telah tertutup tetapi sakitnya masih terasa bahkan sangat.
“Hmm,
kamu sudah menikah?” Tanya Tian. Dia memeluk Donna.
“Belum
ada pikiran kesana, hmm. Aku rasa aku harus menemui temanku pagi ini, kami
memiliki janji bertemu minggu kemarin.” Aku beranjak
“Tunggu
Andini, kami tinggal diseberang jalan. Lain kali mampir ya? Aku akan
menceritakan pertemuan ini dengan Dila. Dia pasti senang jika kamu berkunjung.”
Dia memberikan sebuah kartu nama, mengisyaratkan aku untuk mengambilnya.
“Oke.
Aku akan kesana.” Aku menggantungkan tasku dipundak. Berjalan membelakangi Tian
dan gadis kecilnya. Mataku basah, semakin aku melangkah semakin terasa basah.
Aku
meremas kartu nama milik Tian, aku mungkin berkata akan berkunjung tetapi aku
tak pernah berjanji untuk benar-benar mengunjungi mereka. Aku tidak ingin
menjadi bodoh karena merobek sendiri luka lama yang sudah tertutup. Aku
berjalan menuju halte bis, tidak ada seorang temanpun yang akan aku temui pagi
ini. Tidak untuk seminggu kedepan.
Dan
aku tahu, aku rasa aku tak perlu lagi mengunjungi taman itu. Tak akan pernah
lagi.
Seandainya
aku tahu cinta sesakit ini, seharusnya dulu aku tak mau mengenal cinta.