Bagi
sebagian anak remaja bersekolah atau kuliah diluar daerah bisa jadi suatu
kebanggaan sendiri, tetapi tidak bagi
saya. Sebagai anak lelaki saya diharuskan melanjutkan kuliah di universitas
pilihan kedua orang tua saya, saya terpaksa hidup sendiri tanpa saudara di kota
ini, kota yang katanya sebentar lagi tenggelam, Jakarta.
Saya
masih duduk disebelah kiri halte bus, sesekali saya mengusap dahi karena
matahari pagi yang mengarahkan panasnya kepada saya. Mungkin matahari bermaksud
memberikan saya semangat, tetapi saya tidak suka sinar matahari pagi yang
menyengat kulit saya. Saya mengeluarkan masker dari dalam tas, saya yakin
sekitar dua bulanan lagi wajah saya akan penuh jerawat akibat polusi udara kota
Jakarta yang menyelinap masuk kedalam pori-pori saya. Saya semakin tidak betah
berlama-lama disini.
Saya
berniat mengancingkan bagian atas kemeja saya sebelum suara dengusan rem bus
membatalkan niat saya, saya buru berdiri dan berdesak-desakkan memasuki bus. Seharusnya
saya bisa menerima resiko berebutan oksigen jika menaiki transportasi umum,
apalagi sekarang saya sedang menggantungkan tangan saya dihadapan seseorang
bapak yang wajahnya sangat tidak bersahabat. Tetapi, disini saya pertama kali
bertemu dengan dia. Saya tidak sengaja menoleh kearah pojokan koridor bus,
tetapi ketidaksengajaan penglihatan saya membuat saya terpana akan sosok gadis
yang membiarkan rambut ikalnya terurai, dan berkacamata. Cantik.
Seperti
biasanya, saya menunggu lagi suara dengusan rem bus yang setiap pagi
mengantarkan saya kekampus. Bukan hanya menunggu suara dengusan rem bus,
beberapa kali terakhir saya memperhatikan gadis berambut ikal yang selalu duduk
dipojokan bus. Hanya saja, ada satu yang tidak saya mengerti, saya tidak pernah
mendengar gadis itu berbicara, sekalipun kernek bus memintanya untuk membayar
ongkos ia tetap hanya tersenyum dan tak berucap sepatahpun. Senyum yang indah,
melengkung diantara dua tulang pipi yang membuatnya semakin memesona saya,
tidak bukan hanya saya tetapi siapapun lelaki yang melihatnya. Kemudian saya
berada lagi disuasana yang membuat dada saya sesak, tetapi ada alasan mengapa
saya tetap memilih untuk menggantungkan tangan saya walaupun pegal, karena jika
saya memilih untuk duduk saya tidak bisa memandangi gadis berambut ikal yang
tak pernah berbicara. Ini aneh.
Berat
kaki ini rasanya melangkah keluar dari pintu bus, saya menahan nafas akibat bau
tidak sedap yang disebabkan oleh keringat puluhan orang didalam bus. Saya
menunggu giliran menjadi orang merdeka karena akan keluar dari neraka ini,
kemudian sesorang menyentuh bahu saya lebih tepatnya menekan. Saya menoleh,
gadis berambut ikal yang seringkali saya perhatikan sekarang tepat dibelakang
saya dan terlihat kesusahan membereskan bukunya yang berserakan akibat dorongan
seseorang dibelakangnya. Saya tidak tahu, mengapa tiba-tiba saya merasa kesal
karena seseorang tersebut, saya refleks membungkuk dan membantunya mengambil
bukunya yang terjatuh kemudian saya menarik tangan gadis itu dan membawanya
keluar. Gadis itu mengikat tinggi rambut ikalnya, saya hampir menganga
melihatnya. Sampai umur saya terhitung tahun ini 18 tahun untuk pertama kalinya
saya merasa jatuh cinta.
Saya
memberanikan diri berbicara kepadanya.
“Maaf,
apa ada barang kamu yang ketinggalan dibus?” Tanya saya, saya merasa keringat
mengucur mengaliri pelipis saya.
“hmmmm.”
Dia hanya menggeleng dan tersenyum, senyuman yang lagi-lagi membuat keringat
saya semakin berlomba membasahi tubuh saya.
“Aku
Adam, boleh tau nama kamu?.” Tanya saya. Saya perlu menunggu beberapa detik
untuk mendengar jawaban darinya, namun gadis berkulit putih itu terdiam Ia
lagi-lagi hanya tersenyum. Saya tidak mengerti maksudnya. Kemudian dia
pelan-pelan berjalan menjauh dari saya langkahnya sedikit dipercepat, saya
kemudian menyusul karena menunggu jawaban darinya. Namun gadis itu tetap
menjauh dan menghilang.
Setelah
kejadian dibus beberapa hari yang lalu, saya belum bisa menangkap lagi gadis
yang masih membuat saya terpaku karenanya. Saya bertanya-tanya apakah hanya
karena saya menanyakan namanya lalu dia merasa saya terlalu mengusiknya? Atau
dia merasa terinterogasi oleh saya? Pertanyaan-pertanyaan ini berkutat
dipikiran saya. Tiba-tiba seseorang membuyarkan lamunan saya, abang kernek
tepat didepan saya dan mengadahkan tangannya, saya mengerti maksudnya dan
mengeluarkan dua lembar uang dari dalam saku saya. Kemudian saya memberikan
kepadanya. Seketika saya teringat lagi dengan gadis berambut ikal tadi, belum
sampai abang kernek jalan ke belakang koridor abang kernek itu menghampiri saya
lagi.
“Mas,
ini dari mbak Rian.” Abang berkumis itu menyodorkan saya secarik kertas, dan
menyebut pengirimnya yang sama sekali tidak pernah saya dengar namanya.
“Rian
siapa bang?” Tanya saya.
“Mbak
yang biasa duduk dipojokan itu.” Abang kernet menunjuk tempat dimana biasa
gadis itu duduk, mendengarnya saya langsung menyambar kertas itu, tanpa
mengucapkan terima kasih saya membuka kertas tersebut. Abang kernet menjauhi
saya.
Saya
tidak menemukan kalimat yang banyak dalam surat tersebut, yang ada hanya sebuah
tulisan..
Nama aku Rian,
maaf bukan tidak ingin memberitahu kamu. Hanya aku tidak bisa mengatakannyaJ
Saya
tertegun, jawaban atas pertanyaan saya selama ini terungkap. Mengapa Rian-gadis
yang selama ini saya sukai- tidak pernah berbicara sepatahpun.
Suara
dengusan rem bus ini memaksa saya untuk keluar dari bus, saya berjalan menuju
tempat perbehentian bus. Tapi seseorang menarik tangan saya lalu saya menoleh,
Rian sedang berdiri dihadapan saya. Dia tersenyum polos, hal yang sangat saya
sukai darinya. Saya baru mengerti tentang makna cinta yang mengharuskan
seseorang menerima kekurangan orang yang Ia kasihi, karena Rian terlihat sangat
memesona untuk saya sekalipun Ia tak mampu berbahasa.
Dia
menarik saya lagi, kemudian saya tersenyum..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar