“Hai,
apa kabar?” kalimat ini yang rasanya sangat sulit aku ungkapkan ketika
berpapasan dengan kamu. Namamu Indra-yang dulu adalah kekasihku-, aku menyukai
hidungmu, dan kulit gelapmu. Entahlah, aku sedikit menyesal mengapa memilih
universitas ini untuk melanjutkan belajarku, setidaknya dalam seminggu aku bisa
melihatmu sebanyak kurang lebih 3 kali, dan miris rasanya.
Seketika,
teringat kembali akan kejadian tahun lalu, tepatnya saat kamu lebih memilih
mantan kekasihmu daripada memilih untuk terus bersamaku, sebenarnya aku tidak
ingin lagi mengingat tentang waktu itu, namun ada setumpuk rindu tentang waktu
itu yang kamu biarkan menjamur diperasaanku.
Hari
ini hari selasa, seharusnya aku bisa melihat kamu dikampus. Aku sedang menulis
buku harianku saat kamu menghampiriku. Ini tidak seperti biasanya dulu saat
kita bersebelahan, aku merasa canggung dan sedikit bodoh.
“Hai,
apa kabar?”. Tanyamu duluan.
“Lumayan,
gak sebaik dulu saat aku masih sama kamu”. Aku tak tahu, kalimat itu terlontar
sendiri dari bibirku, aku rasa wajahku memerah.
“Hm,
sebegitukah?”
“Mungkin,
aku masih sering bermimpi tentang.... eh bagaimana kuliahmu?” aku merasa
seperti orang yang sangat bodoh, bodoh.
“Lumayan,
prestasiku tak sebaik dulu saat aku masih sama kamu”.
Aku
tidak tahu apa yang akan dilakukan kamu sekarang, aku memang masih memiliki
perasaan kepadamu, tapi jangan kalau kamu ingin memberikan aku harapan yang
dulu kamu hancurkan.
“Sebegitukah?
Aku kira kamu lebih baik kalau tidak bersamaku. Itu yang dulu kamu katakan”.
“Haruskah
kita membahas itu, sekarang?”.
“Entahlah,
melihatmu rasanya sakit karena mengingat waktu itu. He-he-he”.
“Jika
aku tanya, bagaimana perasaan kamu kepadaku sekarang? Apakah kamu akan menjawab”
“Berani
bayar berapa untuk jawaban itu?”
“Aku
sangat ingin mengetahuinya.”
“Belum
ada ruang untuk lelaki lain sampai saat ini untukku, aku kira kamu mengerti
maksudnya.”
Aku
tidak berharap kamu menjawab perkataanku, seharusnya aku berbohong tentang
perasaanku kepada kamu yang belum berkurang.
“Kamu
cantik, cobalah untuk membuka hati kepada lelaki lain.”
“Itu
bukan urusanmu.” Nadaku sedikit meninggi, aku kembali membuka buku harianku.
“Kamu
masih senang menulis? Apa hal yang sangat sering kamu tulis?’
‘Kamu.”
Jawabku.
“Aku
akan menikah, minggu depan.”
Mendengarmu
aku ternganga, seperti tujahan belati menembus dadaku sampai rasanya sulit
bernafas, kamu akan menikah. Dengan siapa? Mengapa harus aku mendengarnya dari
bibirmu, rasanya sakit.
“Oh,
benarkah? Dengan siapa? Aku turut senang mendengarnya.” Balasku, wajahku
memerah, aku tahu kamu mengetahui aku sedang menahan tangis. Dan kamu hanya
diam dan menatapku dengan tatapan iba, semakin membuatku terlihat miris dan tak
berguna.
“Nabila,
aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya ingin kamu melupakanku.” Nadamu
merendah, sekarang kamu sedang memegang tanganku, erat sangat erat. Aku baru
menyadari begitu kejamnya kamu, saat kamu sudah akan menikah dengan orang yang
dulu mengambilmu dariku sekarang kamu meminta aku melupakanmu dengan tanganmu
yang menggengam tanganku.
“Terimakasih,
tetapi maaf aku tidak akan menuruti permintaanmu, adalah hakku jika aku ingin
terus mengingatmu, aku tidak akan menggangu kamu dengan pendampingmu nanti, aku
berjanji. Tetapi biarkan aku menjadikan kenangan tentangmu sebagai bahagiaku.”
Air
mataku menetes, lega rasanya walaupun sakit.
“Wangi,
tidak bisakah kita berhubungan baik sebagai saudara?”
“Tidak
Indra, lebih baik tidak melihatmu daripada aku harus mengetahui kamu dengan
yang lain. Aku tidak membutuhkan kamu yang aku butuhkan hanya kenangan waktu
dulu.”
“Hmm,
mungkin aku salah memberitahukan ini kepada kamu, tapi aku tidak ingin kamu
mengetahui dari orang lain, aku.....”
“Aku
pikir aku sudah telat kelas, selamat berbahagia In. Terimakasih.”
Langkahku
gontai menjauhimu, aku berbohong tentang telat kelas aku hanya ingin menghindar
darimu. Dan aku tidak ingin sedih karena bertemu denganmu. Dulu aku mengira
kita bisa memulai dari awal, tetapi kamu justru memulai dengan yang lain.
Maaf,
jika kau menjadi egois dalam perasaan, tidak bisa menuruti maumu. Aku rela jika
kamu bersama dengan yang lain tapi tidak jika aku harus melupakan kamu. Aku
sudah cukup bahagia hanya dengan kenangan bersamamu dan sampai saat ini aku
sedang bahagia karena mengingatmu. Maaf karena kau menjadi egois, Terimakasih,
pria berkulit gelapku. Untuk segalanya, terimakasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar